Titi Wanci

Titi wanci. Dua kata ini sangat akrab dalam wacana budaya Jawa. Ia menunjukkan suatu kurun tertentu di mana sebuah kepastian dari yang menguasai alam raya ini akan sungguh terjadi. Sebuah pepesten, dari hubungan timbal balik atas perilaku setiap manusia, yang diyakini akan mendapatkan balasnya. Semua itu akan sampai pada waktunya, pada titi wanci.

Manusia yang menjalani hidup lantas mendapatkan pepeling, setiap tindak tanduknya tidak akan pernah terlepas dari segala sesuatu di sekitarnya. Merugikan atau menguntungkan, menyenangkan atau mendukakan, semuanya terus bertarik ulur. Pada tingkat kesadaran ini, tindakan manusia akan sampai pada situasi kehati-hatian agar apa yang dilakukannya tidaklah merugikan dan menyakiti orang lain, tidak merusak tatanan alam raya.

Inilah insan kamil, manusia sempurna, yang akan mendapatkan tempat istimewa di alam kelanggengan. Alam setelah kehidupan yang fana ini. Ia yang tersingkir dari tabiat takabur, iri hati, riya, dan dengki. Setiap kata, setiap pandangan, dan setiap langkahnya ia upayakan sekuat tenaga agar selaras dengan ritme alam semesta. Ia yang sudah melebur tanpa sekat.

Tetapi titi wanci, juga bisa menjadi sebuah ancaman bagi manusia kalap dalam menjalani hidupnya. Serakah dalam setiap langkahnya. Manusia yang lupa terhadap alam semesta, sebagai entitas yang juga hidup dan bisa memberikan kesaksian atas setiap keculasan manusia. Termasuk mereka yang dengan pongah, mengangkat dagu untuk berbicara yang sesungguhnya sama sekali tidak dipahaminya. Ia yang menyakiti orang lain, melukai rasa keadilan alam semesta, hanya demi kesombongan jabatan, dan gengsi secara intelektual.

Tinggalkan komentar