Bertemu Orang Terindukan (3-Habis)

Ismail, saya memanggilnya Pak Ismail. Tubuhnya tegap tinggi, dengan tatapan mata tajam. Kalau bicara tertata dan selalu jelas. Ia guru saya ketika di pesantren, beberapa kitab kuning ia kuasai benar. Maklum, ia alumni dari Termas. Senyumnya mengembang saat saya sowan ke rumahnya, yang berjarak sekitar tiga kilo meter dari rumahku. Ia menghentikan pekerjaannya menganyam bambu, berjalan dengan gegas menyambut. Seperti tradisi yang sudah diajarkan, saya beruluk salam, menjambat tangan, lalu mencium tangan kotor itu.
Bagi Ismail, pekerjaan utamanya bukanlah menjadi ustadz, melainkan pedagang buku di pasar Branti dan Tegineneng. Tidak ada buku-buku berbau politik atau ekonomi. Buku yang dijualnya kitab kuning, juz ama, alquran, albarzanji, tuntunan salat dan sejenisnya. Mengingat itu, saya hanya bisa menggeleng kepala, puluhan tahun profesi itu dijalaninya dengan ikhlas dan niat beribadah.

Meski begitu, usahanya tidak sia-sia, empat anaknya kini meraih benar sarjana, dan tentu saja dengan keahlian kitab kuning yang tidak perlu diragukan. Membaca Ismail sama artinya sedang mematahkan teori ekonomi yang berorientasi pada logika. “Berkah,” katanya.

Kebahagian lain, saya bertemu dengan Pak Abu, sampai sekarang saya tak pernah tahu nama lengkapnya. Jangan akan ia berdiskusi bahasa Arab, sebab kitab alfiyah sudah hafal luar kepala. Sebagai alumni pesantren Lirap Kebumen, tentu tidak mengherankan. Pesantren ini memang dikenal mengatakan ilmu alat. Seperti pesantren API di Tegalrejo, Magelang.
Berdiskusi dengan Pak Abu agak sedikit lambat. Kalimatnya pendek-pendek, dengan suara sedikit lirih. Ia tak kenal tertawa lebar, cukuplah bibir tertarik ke belakang, dan menampak sebaris gigi putih yang masih utuh. Saya pun terbawa suasana, meski terkadang lupa terbahak, tetapi tak cukup lama bertahan. Ia memiliki makna penting dalam jalan hidupku. Di hadapannya saya pertama lalu mengkhatamkan alquran, untuk tak lama kemudian menjalankan sunnah Ibrahim, khitan.  (Habis)

Tinggalkan komentar